Perempuan Sang Penulis

3:54:00 AM Valencia Ng 7 Comments




(Note: I wrote this few years ago for a task that my teacher gave to me. And I just found it, somewhere in my hard disk. Looking back, I think I should improve my
writing skill and be more patient.......)


Pukul dua pagi, jam bergeliat dengan begitu gelisah. Malam ini, langit terlihat begitu cerah dengan cara yang sungguh tidak biasa untuk ukuran malam - malam pertengahan musim gugur yang membosankan. Bulan terekspos begitu saja, tanpa malu – malu. Angin terkadang bertiup perlahan – lahan memasuki jendela kamar dua kali dua, dan ia tampak tertidur pulas...

Angin perlahan – lahan menggelitik kakinya yang tidak terbungkus selimut tebalnya, tapi ia masih tertidur lelap. Kemudian ia merasakan jemari – jemari lembut menyentuh wajahnya. Pertama, dari bawah mata, menelusuri perlahan – lahan ke pipi keriputnya, kemudian turun perlahan ke dagu. Namun seakan – akan ada yang tertinggal, jemari itu perlahan menyentuh bibirnya. Memperlakukan seakan – akan bibirnya adalah barang yang paling mudah pecah. Dan disaat inilah ia sungguh-sungguh terjaga. Masih enggan membuka mata, tangannya menyentuh tangan perempuan itu. Dan dengan meraba – raba, sampailah ia ke rambut perempuan itu. Inilah rambut perempuan yang dicintainya. Dan kini di benaknya sudah tergantung bayangan seorang yang sosoknya ia lebih hafal daripada tubuhnya sendiri. Ini, bagian rambutnya. Lekuk tubuhnya. Aroma badannya. Bagian sini, tanda bekas luka pertamanya waktu perempuan itu jatuh dari tangga. Ini wajahnya. Lalu ia terdiam ketika tangannya terhenti di pipi perempuan itu, berbisik... “Sayang, mengapa kau menangis?”

*** 

Ia akhirnya membuka mata. Tangannya masih basah, dan masih tergantung di pipi kekasih hatinya. Pertama kalinya, yang ia lihat, tentu saja... mata itu. Begitu dekat, begitu jelas. Bulu matanya yang lentik masih membingkai kedua mata itu. Tapi mata itu memancarkan, ......... entahlah. Rasanya seperti melihat ke jiwanya sendiri. Mata itu tampak berteriak – teriak, menuntut jawaban jujur. Ia pernah melihat hal ini sekali, dulu tapi, dulu sekali. Tangannya mengusap air mata di pipi perepuan yang menemaninya seumur hidupnya itu. Dengan suara yang bergetar, ia mendengar dirinya sendiri berkata,
“Sayang, kau tahu, sepanjang 49 tahun aku bersama denganmu, baru dua kali aku melihatmu menangis. Kau wanita kuat, Selene. Tapi, ingatkah kau.........?”

*** 

Ingatkah kau, kini laki – laki itu mulai bercerita. Tidak sulit, karna seumur hidupnya ia bercerita untuk orang – orang. Pertama kalinya aku melihat kamu menangis adalah, ketika tengah malam, kau ada di ruang tamu, memegang koper kecilmu. Matamu berteriak – teriak, menantang aku. Padahal, kau perempuan sabar...... dan aku, melihatmu dengan sinis, seakan – akan melihatmu sebagai dinding yang mempertontonkan kegagalanku. Kau menangis tanpa suara. Kau hanya mampu mengulang kata – kata, “Aku tak sanggup lagi....” Aku berkata dengan nada yang begitu menyakitkan hati, “Aku sudah tahu. Seharusnya aku sudah menyadari ini semenjak lama. Masalah itu. Kau tahu, penerbitku belum memberikan hasil penjualan buku, tapi......”

“Demi Tuhan, Ronan! Ini bukan tentang uang. Aku sudah berkata kepadamu. Ini bukan tentang uang, sungguh.”

“ Jangan bodohi aku, Selene. Sekali pun tidak. Siapapun tentu tahu seorang suami harus menafkahi...”

Kali ini aku mendengar kamu memotong lagi, “Bukan! Kau tahu, aku sudah cukup bersabar denganmu. Melihatmu mengasihani diri sendiri bukanlah ......”

“Oh, jadi ini tentang kamu dan kesabaranmu itu, eh?” Senyum sinisku mengembang dengan begitu sempurna. Hening panjang. Aku hendak berbalik dan melanjutkan tulisanku ketika kamu berbicara. Seperti pecahan kaca, begitu jelas, begitu menyakitkan ketika kata – kata itu akhirnya keluar. “Aku cemburu...”

Aku hampir – hampir tertawa sebelum aku melihat kesungguhan di matamu. “Bagaimana mungkin,” sanggahku, “ketika kau tahu aku hampir – hampir tidak pernah meninggalkan ruang kerjaku?” Semua yang kau pendam akhirnya keluar juga, “Aku tahu! Dan karna itu aku cemburu, Sir. Aku cemburu dengan tokoh fiksimu. Kau mencintainya begitu dalam, kau menemaninya siang malam, dan demi apapun, siapa aku ini dibandingkan dengannya? Wanita idamanmu, bentukan dari imajinasimu. Wanita fiksi tidak punya kekurangan. Bahkan di malam – malam yang seharusnya kau bersamaku, kau memilih bersamanya...” Lalu kamu menangis dan tak mampu melanjutkan lagi. Aku hanya mampu mendekapmu erat, “Kau tahu, sayang... ini pekerjaanku.” Tangismu makin menjadi dan kudengar suaramu bergetar, “Dapatkah pekerjaanmu mencintai aku saja?” Kita terdiam lama dan di tengah hening yang menyiksa ini, akhirnya kau berkata, “Kau kehilangan faith kepadaku, kau tahu.” Seperti lampu yang dimatikan, perasaan iba itu pun padam. Aku melepaskan pelukanku. Sebelum berpaling, aku berkata, “Aku tahu kamu akan tetap tinggal” dan setelah itu aku berjalan keluar, meninggalkanmu sendirian di ruang tamu yang sempit itu.

*** 

“ Dan kamu tetap tinggal...” , suara penulis itu terdengar penuh takjub. Perempuan itu hanya mampu tersenyum di sela – sela tangisnya. “ Karna aku tahu...,” ujarnya. Dan ia pun melanjutkan ceritanya, “ Ingatkah kau...?”

*** 

Ingatkah kau, di malam ketika kita pertama kali berkencan? Ketika itu, untuk pertama kalinya aku tahu kalau yang aku tulis sungguh – sungguh ada.
Kita pertama kali keluar bersama, ketika kita malam di suatu hari yang dingin di pertengahan bulan September. Aku berpikir untuk mengajak dirimu ke Delmonico’s, tempat yang begitu terkenal akan steaknya. Waktu itu aku baru saja mendapat honor sebagai penulis lepas. Kau, yang menurut teoriku waktu itu adalah bentukan gerakan “girl power” 1950an, hanya tertawa ketika aku menyampaikan ideku, kau mengajakku untuk nonton saja. Film Audrey Hepburn yang terbaru baru keluar, katamu. Sesungguhnya aku tidak begitu suka Audrey Hepburn, aku lebih suka Grace Kelly sebelum dia menjadi Putri Monaco, tapi aku diam saja. Ketika kita keluar dari cinema setelah menonton Holly di “Breakfast at Tiffany’s”, kita berjalan melewati sungai, melewati kedai es krim, sambil asik bercerita. Tanpa sadar, kita sudah sampai di depan apartemenmu.

Aku hendak pergi, ketika kau memanggilku dan menyuruhku masuk. Aku kemudian melihat – lihat koleksi piringan hitammu, tertarik dengan begitu banyak koleksi Frank Sinatra disana. Kau mengambil satu, dan tak lama kudengar “Moon River”, lagu yang baru saja menjadi pengisi film yang baru saja kita tonton, dan aku menyadari kau sedang menatapiku lama. Aku berjalan ke arahmu, mengulurkan tanganku, dan tahu – tahu kita sudah berdansa. Berdansa biasa saja, rasanya seperti menemukan sesuatu yang pas, yang tidak kau cari, tetapi ternyata eksis keberadaannya. Suasananya begitu menghanyutkan, tetapi kemudian aku sadar. Logika ku berontak, melawan mengikuti arus. Sebelum terlambat, pikirku. Sebelum jatuh lebih dalam dan lebih sakit lagi. Aku berdeham, “My lady, kau tahu, aku hanya penulis lepas. Aku tidak mungkin dapat memberikanmu apa yang...,” perkataanku terhenti cepat ketika bibirmu menyentuh bibirku. Begitu cepat, aku bahkan tidak dapat berpikir ketika kamu melepaskan diri, menjauh, dan tersenyum “Aku tahu”. Saat itu aku tahu aku telah terjebak. Terjebak selamanya. Malam itu aku tidak pulang.
     Dan sungguh.........

*** 

“Sungguh aku, saat itu aku...,” perkataannya terhenti sejenak. “Demi Tuhan, Selene, jangan menangis seperti ini.” Laki – laki tua itu sungguh tak lagi bisa menahan. Setiap tatapan perempuan itu seperti pisau yang menusuknya dalam – dalam.
“Kau tahu, Selene, aku mungkin tidak pernah mengatakan kepadamu secara langsung, tapi aku sungguh cinta...”

Dan disaat itulah ia melihat keajaiban itu. Ia melihat Selene tersenyum. Tersenyum! Dan ia akhirnya merasa lega. Setelah semuanya ini, akhirnya kata – kata itu keluar juga. Ia lalu memejamkan mata, sama seperti orang tua kebanyakan yang mudah merasa lelah. Ia menghirup nafas dalam – dalam, merasakan aroma tubuh Selene perlahan memasuki rongga – rongga pernafasannnya.

Kemudian, seakan terbangun dari mimpi, ia membuka mata. Dan ia menyadari, bahwa ia...sendirian. Aroma Selene sudah tidak ada. Bahkan lekuk tempat tidur di salah satu sisi kasurnya, tak lagi ada. Tiba – tiba ia merasa begitu kedinginan. Ia menarik selimutnya dan memegangnya erat – erat.

Dari celah kamarnya, ia dapat melihat, bulan tampak begitu indah. Selene tidak ada. Sudah tidak ada. Tidak pernah benar – benar ada. Entahlah, ia mungkin sudah tua, tetapi benaknya masih dapat mengingat setiap detail tentang Selene.

Ia sekali lagi melihat bulan yang tampak begitu menghipnotis itu. Detik – detik masih berdetak dengan gelisah. Ia lalu mencoba memejamkan mata kembali, dan kini... ia menemukan

Selene lagi. Lagi, dan lagi. Bayangan Selene ada dimana – mana. Dan sayup – sayup, ia mendengar dengan begitu jelasnya. Lagu yang ia sudah terpatri selamanya di hatinya, yang menghantui benaknya sekian lama...

~ Moon river, wider than a mile
I’m crossing you in style, someday...
You dream maker, you heart breaker.
Wherever you’re going, I’m going your way  ~


Semakin lama, lagu itu semakin jelas terdengar. Dan ia dapat melihat Selene dengan jelas sekarang, menari – nari sendiri di tepi sungai. Ia semakin mendekat. Tidak mungkin, pikirnya. Tidak mungkin. Selene tidak ada.

Berteman dengan imajinasi begitu lama dapat membuatmu menjadi gila, Ronan, ujar akal sehatnya. Tapi ia dapat melihat dengan jelas, dan ia langsung berlari turun ke jalanan. Itu, Selene! Dia ada. Dia ternyata sungguhan ada. Jangan bodoh, kali ini sisa-sisa logikanya mencoba memperingatkan. Masa bodohlah, ia melihat pujaan hatinya, masakan dia diam saja? Ia mengejar Selene. Akhirnya, Selene, akhirnya, Selene bukan hanya bagian dari khayalanku saja. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa tidak begitu kesepian lagi.

*** 

Seorang pemuda berjalana di hari Minggu yang cerah di

Central Park. Anak kecil tampak berlarian kesana – sini. Ia membawa surat kabar hari Minggu sambil mencari tempat duduk. Ketika dapat, ia mulai membuka surat kabarnya dan mulai membaca.

Di halaman ke lima, ia menemukan suatu berita di sudut kanan bawah :
“ NYC – Penulis ternama itu sudah tiada. Ronan Williams, yang terkenal sebagai penulis terkenal di masa 1960-1980an itu kini sudah menutup matanya di apartemennya, di Bronx, Sabtu dini hari. Penulis berusia 75 tahun ini meninggal tanpa meninggalkan seorang anak ataupun istri. Sepanjang hidupnya, Williams telah menulis lebih dari 10 buku – 4 di antaranya masuk ke jajaran buku terlaris pada zamannya. Buku pertama Williams yang terkenal dan memasukkan namanya ke penulis ternama adalah “Moon River”, yang rilis tahun 1968, yang bercerita tentang tokoh kesayangannya, Selene. Buku itu dinobatkan ...”


Pemuda itu membalik surat kabarnya karna tidak tertarik. Ia mulai membaca lagi tentang perekonomian dunia, tentang perang Suriah, tentang pemilihan presiden. Kemudian setelah beberapa lama terus membaca, ia meninggalkan korannya di bangku taman.

New York City, Minggu pagi, penulis ternama itu segera terlupakan zaman.

- Tamat –

7 comments:

Tell me anything

It feels weird writing to you again.

2:11:00 AM Valencia Ng 2 Comments

Hello you, stranger.
Or should I begin with, "Dear..."? 

It doesn't matter, does it? It feels weird to writing to you again. After all those thousands of words spilled out only for you, now I begin asking why I ever wrote at the first place. After all these years I've spent waiting, now I'm asking myself :

Was it ever worth it? 

Writing to you feels weird because I've stopped writing to you and/or for you. Why should I dedicate anything who won't even bother with my existence? And it made me stop writing in general. I started writing on my journal the day you left and now I barely write anything on it. And I know the chance is you won't read this. And it simply means you won't reply. And it makes me feel like I'm a young adult with an imaginary friend....... Well, was it only in my imagination? Was it even real? After all, I'm used with your shadow, after the day you went way, what any other thing you left other than your shadow? 

Ah, and memories. the ones that I threw away years ago. You were supposed to take it but you refused to accept it. But, after all the things that ended up in empty bin, did it stop me from remembering? 

No, the answer is no. Of course I began to forget the voice or the little things you did. I began to forget the exact words of our conversation, or how it really ended. But I remember that it hurt. I remember I cried on my way back home. I remember I asked you to translate the word "goodbye" and all you said was "see you". I remember when we were on the phone and you told me that you would come home soon. I remember how big the moon when we met for the last time, never knowing that I'd never get the chance see you again.... at least until now. 

Even the not talking, not seeing each other part didn't stop me from remembering. Crazy, right? How come you ever meant that much? How come, that in everyone I ever meet with the same name like you, I'll get the flashback again? How come, that in everyone who comes to my life, I will always try the similarities in you? Since you left, I'm being allergic to the word 'goodbye'. And the crying part, it made me promise that I'd never cry and be that stupid again. And it made me be the one who leaves, because I'm fed up being the one who's left. How come you ever meant that much when you actually came in my life for a glimpse, like ...... literally? How come that after all the warning signs you've given to me, I chose to deny it? 

You meant that much probably because you left me one last thing, the most precious one : the gift of leaving. You taught me the word 'goodbye'. You woke me up from my childhood fantasies of happy ending and taught me reality. And in the shortest time we ever spent, you changed my whole life. And of course it hurt, because it actually mattered. For years, I told myself that if you wanted to stay, you would. I always put myself as a victim, because it wasn't easy to be the one who is left. All those rules, all those walls, all those borderlines I've ever made to protect myself from being hurt again. All those scenarios I've ever made to anticipate the ending itself. 

The difference now, this year I'm being the one who leaves. Maybe it's because of you, maybe it's not. And now, putting myself on your shoes, I begin to understand it was a gift after all. Goodbye will always reveal and be the test how much someone means to you, or how much you ever mean to that someone. I've learned that people leave, that sometimes people grow apart, that life always comes in twos, hello and goodbye. Being brave enough to have the hello simply means you'll meet the goodbye in one end and be brave enough to swallow that reality. That everything in life is temporary after all. Even the ones I thought who would never leave....... And even the ones I thought whom I would never leave ......

And all that I can is to be grateful for the times when I still can be together with the ones I love. Or the times I've had with the ones who left or the ones I left. Be grateful because even the hardest goodbyes can reveal that I still have important people in my life who made the goodbye seemed so hard. I've learned that it is equally hurt to leave, as it is to be left. 

I was supposed to write this few days ago. I've stopped counting but I still remember, though. I gotta say that it doesn't hurt anymore. In fact, I don't feel anything at all. Is it because I've finally let you go? Hopefully. I don't know where you are right now, or what you do, or whether you will ever read this or not. But I want to say thank you for your existence, even in the short period of time in my life. I don't know was it actually a fate for us to meet, or was it actually God's plan to put you in my life. Or was it actually by chance or was it simply a coincidence (though I refuse to believe in it)? Either way, I've learned a lot from you. And even when it hurt, I'm still grateful for it. I don't know if I ever mean something, anything to you. But you once meant a lot to me. And I hope you happiness that you will get the bright future you used to love talking about. I can't imagine if one day our paths align once again, it'll probably completely awkward because by then, we'll be completely strangers, but if it's still possible, we can sit and have coffee and talk as old friends and laugh. 

This feels weird, really. But this supposedly be my very last open letter to you. 

Me.




2 comments:

Tell me anything